Monday, May 29, 2017

Orang Jawa di Singapura

Sejarah (1825 – 1985). Sejumlah orang Jawa didatangkan ke Singapura sejak 1825 [Johari, 1965]. Mereka berasal dari Jawa Tengah, dan mereka dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan karet, jalur kereta api dan konstruksi jalan raya. Kampong Jawa, di tepi sungai Rochor, adalah tempat pemukiman pertama orang Jawa di Singapura. Selain Kampong Jawa, Kallang Airport Estate dikenal sebagai tempat pemukiman orang Jawa juga. Di Kallang, mereka hidup berdampingan dengan orang Melayu dan Cina.
Menurut Lockard [1971], orang Jawa di Kampong Jawa tumbuh dari 38 orang pada 1825 hingga 5885 orang di tahun 1881. Puncak pendudukan orang Jawa adalah tahun 1931 dimana hampir 170000 orang Jawa tinggal di Singapura. Selang 16 tahun, jumlah orang Jawa menurun drastis dari 169311 pada 1931 hingga 24715 pada 1947. Penyebabnya
(1) depresi ekonomi yang mendorong berdirinya perkebunan skala kecil dimana mereka tidak lagi menggunakan buruh
(2) meningkatnya kondisi ekonomi buruh
(3) tekanan internasional yang memprotes perburuhan.
Bahasa Jawa. Data tahun 1985 menunjukkan bahwa sekitar 800 dari 21230 (3.8%) orang Jawa di Singapura masih melestarikan bahasa Jawa. Orang Jawa di Singapura lebih fasih berbahasa Melayu. Bahasa Jawa masih dilestarikan oleh generasi tua dan menularkan beberapa kosakata kepada anak-cucunya. Bahasa Jawa bukan alat komunikasi yang umum karena pengaruh budaya Melayu cukup kuat. Di samping asimilasi dengan budaya Melayu itu, bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan (ngoko, ngoko alus, kromo inggil) sehingga “agak” mempersulit pembelajar bahasa Jawa. Lingkungan non-Jawa barangkali lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar bahasa Jawa; hal ini juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jakarta. Di Singapura, pada akhirnya, bahasa Jawa menjadi langka.
Melayu logat Jawa (Pertengahan 2005). Di sebuah kedai prata, selatan NUS – Clementi, saya ngobrol dengan seorang waiter. Ia berasal dari Johor, dan berumur sekitar 40an. Ia bercerita tentang masa lalu: seorang pemuda Jawa datang ke Singapura tahun 1950an, lalu menatap di Johor Bahru. Pemuda ini menikah dengan perempuan Melayu. Meski demikian, pemuda ini tetap mempraktikkan bahasa Jawa di rumah. Jawa menjadi alat komunikasi di rumah, selain bahasa Melayu. Pemuda ini adalah ayahnya.
Dibesarkan di Malaysia dan berbahasa Melayu dengan lancar, awalnya saya rasa dia tidak akan bisa berbahasa Jawa. Tapi sungguh mengejutkan: dia bisa! Dan itu kali pertama saya mendengar bahasa Jawa dengan aksen melayu!
Email Krama Inggil (Awal 2005). Seseorang mengirimi saya e-mail dan memberikan komentar dalam artikel “Apakah Jawa itu?“. Ia menulis dalam krama inggil (bahasa Jawa halus yang biasanya dipakai ketika kita bercakap-cakap dengan orang yang lebih tua atau dengan orang yang lebih dihormati). Saya terpukau dengan bahasa Jawanya. Meski ia warga Singapura, ia masih mampu berkomunikasi dalam kromo inggil. Saya jarang menggunakan krama inggil. Jadi, ketika membaca email-emailnya, saya berusaha menjejak setiap kata, mengartikan sepotong-sepotong dan membalas emailnya dengan bahasa campuran ngoko alus dan krama inggil.
“Oh, bahasa Jawa masih “bernafas” di Singapura” batin saya.
Bahasa Jawa menduduki peringkat 12 sebagai bahasa yang paling banyak dipakai di dunia – dipakai oleh lebih dari 75.5 juta orang yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, New Caledonia dan Suriname.
Pustaka
– Abdul Aziz Johari, Javanese People in Singapore, Academic Exercise, Dept. of History NUS, 1965.
– Craig A. Lockard, The Javanese As Emigrant: Observations on the Development of Javanese Settlements Overseas, Cornell Southeast Asia Program, April 1971.
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 komentar:

advertisment