Monday, September 25, 2017

Kala Singapura Berpisah Dari Melayu

Kala Singapura Berpisah Dari Melayu

Yusof Ishak, mengenakan peci, sedang meninjau barisan pada Hari Kebangsaan (sumber : beritaharian.sg)

The Wall Street Journal    , koran terkemuka asal Amerika, setahun lepas menurunkan laporan yang berjudul “Brain Drain Dampak Kebijakan Etnis Malaysia”. Laporan ini ditulis oleh Shie-Lynn Lim, salah seorang koresponden Wall Street Journal di Kuala Lumpur yang memberitakan keadaan di negeri jiran. Dalam laporannya Lim menulis, kuatnya politik Ketuanan Melayu di negeri itu, memicu rasa frustrasi sebagian warga Malaysia keturunan China. Akibatnya banyak diantara mereka yang kemudian lari dan bermukim di Singapura. Pendapat lainnya datang dari Rita Sim, salah seorang pendiri Centre for Strategic Engagement. Sim yang juga penulis buku “Unmistakably Chinese, Genuinely Malaysian” itu berpendapat, banyaknya orang-orang keturunan China yang keluar dari Malaysia disebabkan oleh sense of belonging mereka yang rendah terhadap negeri itu. Lagi-lagi ini disebabkan oleh politik Ketuanan Melayu yang dianggap tak berpihak kepada mereka.
Politik Ketuanan Melayu
Politik Ketuanan Melayu merupakan sistem politik yang memberikan hak-hak khusus kepada bangsa Melayu di Malaysia. Secara resmi politik ini berlaku sejak kemerdekaan Malaysia tahun 1957. Namun sistem ini mulai digagas sejak dekade 1920-an, dimana pada masa itu muncul bibit-bibit nasionalisme Melayu yang dipicu oleh politik segregasi Britania. Umum diketahui, pada masa kolonial Eropa orang-orang pribumi di Asia Tenggara diletakkan pada lapisan yang terbawah. Sedangkan bangsa-bangsa pendatang — seperti China, India, dan Arab, dijadikan sebagai intermedier antara pihak kolonial dengan kaum pribumi. Politik segregasi etnis tersebut, sengaja memisah-misahkan antara kaum Melayu, Tionghoa, dan India, agar mereka tak bersatu padu menentang pemerintahan Inggris di Semenanjung.
Namun jika kita menelaah lebih lanjut, kemunculan politik Ketuanan Melayu itu boleh jadi disebabkan oleh kesalahan pemerintahan Inggris yang membawa masuk para pekerja asal China dan India dalam jumlah besar. Akibatnya persentase orang Melayu yang menjadi penduduk “asli” Semenanjung makin tergerus. Bukan itu saja, hak-hak ulayat mereka-pun, terutama dalam pengelolaan tanah, sedikit banyaknya juga terganggu. Politik semacam ini sebenarnya bukan persoalan khas Malaysia saja, namun juga berlaku di beberapa koloni Eropa, seperti Afrika Selatan, Suriname, Sumatera Timur, dan yang belum selesai hingga saat ini : Palestina.
Imigran dari Tiongkok di perkebunan Malaya
Imigran dari Tiongkok di perkebunan Malaya
Tan Malaka dalam perjalanannya memperjuangkan kemerdekaan Nusantara Raya, pernah memberikan catatan mengenai ramainya para buruh asing yang bekerja di Semenanjung. Ia sempat tak habis pikir melihat begitu banyaknya proletar asing, para buronan dan orang lontang-lantung dari Tiongkok yang masuk dan berkuli di kebun-kebun orang Melayu. Ketika itu, Tan yang keluar masuk Singapura-Sumatera-Jawa, sampai terheran-heran dengan tingkah laku para kapitalis Inggris yang memasukkan orang-orang China dan Tamil ke Semenanjung. Politik eskploitasi Inggris yang kelewatan itu, tak hanya menzalimi kuli-kuli China maupun India, namun juga masyarakat Melayu setempat yang hak-haknya ikut terampas. Akibatnya apa yang kita saksikan sekarang ini, politik Ketuanan Melayu yang cenderung diskriminatif itu, hendak terus dikekalkan oleh pemerintah Malaysia. Lalu bagaimana kaitannya antara politik Ketuanan Melayu itu dengan berpisahnya Singapura dari Malaysia? Patutkah politik Ketuanan Melayu disangkakan sebagai penyebab utama berpisahnya Singapura dari Malaysia, seperti yang dituduhkan oleh banyak orang selama ini? Untuk itu, mari kita tengok tulisan selanjutnya.

Lepasnya Singapura dari Tangan Bangsa Melayu
Singapura atau dulunya yang dikenal dengan Tumasik, merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau di bagian selatan Selat Malaka. Tak ada riwayat pasti mengenai kapan awal berdirinya Singapura. Salah satu kitab legenda bangsa Melayu, Sulalatus Salatin, mengabarkan bahwa Singapura pertama kali diteroka oleh Sri Tribuana (Sang Nila Utama) pada tahun 1299. Thomas Stamford Raffles mengaitkan Sri Tribuana dengan raja Minangkabau yang memerintah Kerajaan Dharmasraya : Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Setelah Sri Tribuana, berturut-turut Singapura diperintah oleh Sri Wikrama Wira, Sri Rana Wikrama, dan Sri Maharaja.
Salah seorang putra Sri Maharaja yang bergelar Parameswara kemudian memerintah Singapura hingga kerajaan tersebut diserang pasukan Majapahit. Adalah Sang Rajuna Tapa, salah seorang pejabat di pengadilan Singapura, yang meminta raja Majapahit Wikramawardhana menyerang kota tersebut. Tindakannya itu sebagai bentuk balas dendam, akibat hukuman yang diberikan Parameswara kepada putrinya. Untuk menyelamatkan diri dari penyerangan tentara Jawa, Parameswara lari ke Malaka. Di kota itu ia mendirikan kerajaan baru : Kesultanan Malaka, dan mengganti gelarnya menjadi Iskandarsyah.
Sebuah diorama ketika Sultan Johor menandatangani penjualan Singapura ke pemerintah Inggris
Sebuah diorama ketika Sultan Johor menandatangani penjualan Singapura ke pemerintah Inggris
Tahun 1511, ibu kota Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra sultan Malaka, kemudian mendirikan Kesultanan Johor-Riau di atas reruntuhan kerajaan ayahnya. Pada tahun 1722, Kesultanan Johor-Riau terpecah dua. Wilayah Johor di Semenanjung berada di bawah kepemimpinan aliansi Melayu-Bugis, sedangkan yang di Riau berada di bawah pengaruh Minangkabau. Adanya dwi-kepemimpinan di Kerajaan Johor — Yang Dipertuan Besar untuk raja-raja Melayu dan Yang Dipertuan Muda untuk para elit Bugis, dimanfaatkan oleh Thomas Stamford Raffles untuk memperkuat kedudukannya di Selat Malaka.
Tanggal 7 Juni 1823 merupakan hari yang selalu diingat oleh para sejarawan Melayu. Sebab di masa itulah Sultan Hussein Shah menjual Singapura kepada Thomas Stamford Raffles yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan Inggris di Asia. Dalam sejarah Melayu, cuma Singapura-lah wilayah strategis yang lepas ke tangan bangsa asing tanpa ada perlawanan sedikit-pun. Tak banyak orang yang tahu, mengapa sultan ini melepas begitu saja sebuah pulau yang bernilai ke tangan bangsa asing. Namun banyak pihak menduga, ketamakan raja-raja Johor-lah yang menjadi pangkal bala lepasnya pulau ini ke tangan bangsa Inggris.
Sebuah perjanjian yang ditandatangani antara Sultan Hussein Mahmud Shah dan Datuk Temenggung Abdul Rahman Seri Maharaja (wakil Johor) dengan John Crawfurd (wakil Inggris), mengungkapkan bahwa pihak Kerajaan Johor dan segenap ahli warisnya melepas Singapura kepada pemerintah Inggris dengan imbalan uang masing-masing kepada Sultan Hussein sebesar $ 33.200 dan gaji sebanyak $ 1.300 per bulan yang dibayarkan seumur hidup, serta kepada Datuk Temenggung uang sebesar $ 36.800 dan gaji per bulan sebanyak $ 700. Tak hanya itu, pemerintah Inggris juga menjamin kehormatan serta memberikan fasilitas yang cukup kepada mereka berdua.
Sejak berpindah tangan ke pemerintahan kolonial Inggris, negeri ini segera dicanangkan menjadi pusat perdagangan di Asia. Untuk menggerakkan perekonomian negeri liliput itu, Inggris membutuhkan tenaga kerja yang banyak sekaligus terampil. Di tahun 1821, diperkirakan hanya ada sekitar 4.724 orang Melayu dan 1.150 orang China di Singapura. Jumlah ini sangatlah kurang, mengingat banyak sekali pembangunan infrastruktur yang segera direalisasikan. Karena secara politik Singapura sudah tak lagi milik bangsa Melayu, maka pemerintah Inggris bisa sesuka hatinya mendatangkan penduduk dari negeri luar.
Pemukiman Orang Laut di Singapura, 1826 (sumber : country-data.com)
Pemukiman Orang Laut di Singapura, 1826 (sumber : country-data.com)
Tahun 1839-1860, di daratan Tiongkok terjadi huru hara politik. Perang Candu memporakporandakan negeri tersebut. Inggris yang memaksakan perdagangan candu ke negara itu, menggunakan siasat licik untuk mencabik-cabik kedaulatan China. Beberapa kota perdagangan mereka, seperti Hongkong, Kanton, dan Chingkiang luluh lantak. Banyak orang yang terbunuh dan menjadi miskin seketika. Sementara itu di Malaya, para pengusaha Tionghoa diiming-imingi keuntungan besar untuk menjadi mafia kuli. Mereka dibiayai pemerintah Inggris untuk mendatangkan para petani China yang tak lagi produktif. Sejak saat itu berduyun-duyunlah masyarkat China datang ke Negeri-negeri Selat (Penang, Malaka, dan Singapura) untuk menjadi kuli dan buruh pertambangan. Akibatnya di beberapa wilayah kolonial Inggris, jumlah mereka melonjak tajam.
Di Singapura, antara rentang waktu 1824-1860 telah terjadi peningkatan populasi sebanyak delapan kali lipat, yakni dari 10.683 jiwa menjadi 81.734 jiwa. Dari jumlah itu, etnis China merupakan kelompok yang paling cepat pertumbuhannya. Berdasarkan catatan Swee-Hock Saw, selama 16 tahun (1824-1860) etnis China mencatatkan pertumbuhan lebih dari 10% per tahunnya. Sementara itu kaum Melayu hanya berkisar antara 2,9% – 5,6% per tahun. Akibatnya pada tahun 1860, etnis China sudah menjadi kelompok terbesar di Singapura, menggeser puak Melayu yang sebelumnya menjadi pihak yang dominan. W. G. Huff dalam bukunya “The Economic Growth of Singapore: Trade and Development in the Twentieth Century” mencatat, pada tahun 1901 dari 193.100 penduduk kota Singapura, sekitar 73,5% masyarakatnya merupakan etnis China. Jumlah ini jauh melampaui orang Melayu yang hanya berkisar antara 13% – 14%. Sedangkan orang India, cuma berjumlah 8,1% dari total keseluruhan populasi. Meskipun populasi orang Tionghoa cukup besar, namun rasio antara laki-laki dan perempuan mereka tidaklah berimbang. Hal ini berlangsung hingga tahun 1940, sebelum pecah Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1901, perbandingan antara laki-laki Tionghoa dengan kaum perempuannya sebesar 3.574 : 1.000. Akibatnya banyak terjadi perkawinan campur antara etnis Tionghoa dengan Melayu yang kemudian melahirkan Kaum Peranakan.

Lee Kuan Yew, Federasi Malaysia, dan Republik Singapura
Salah seorang anggota Kaum Peranakan yang terkemuka adalah Lee Kuan Yew (LKY). Ia merupakan pendiri Partai Aksi Rakyat (PAP), sebuah organ politik yang paling berpengaruh di Singapura. Meski ia tak sepaham dengan aliran komunis, namun partai barunya itu banyak didukung oleh politisi berhaluan kiri. Secara patrilineal, LKY merupakan seorang Hakka, salah satu sub-etnis minoritas di Singapura. Sedangkan dari garis ibunya, ia memiliki darah campuran China Hokkien dan Melayu. Sejak kecil LKY sudah bergaul dengan banyak kalangan dari berbagai suku bangsa. Orang tuanya yang terbaratkan (westernised) lebih mengedepankan gaya hidup Barat tenimbang kultur Tionghoa. Oleh karenanya dalam percakapan sehari-hari ia sering menggunakan Bahasa Inggris. Kecenderungannya terhadap cara hidup Barat, serta garis keturunannya yang bercampur baur itulah yang menyebabkan LKY menjadi seorang politisi yang unik dan cukup disegani di Singapura, bahkan di seluruh Malaya.
Lee Kuan Yew (kiri) dan Tunku Abdul Rahman
Lee Kuan Yew (kiri) dan Tunku Abdul Rahman
Pada bulan Mei 1959, Singapura untuk pertama kalinya mengadakan pemilihan anggota legislatif. Partai PAP pimpinan Lee Kuan Yew meraih 43 kursi dari 51 kursi yang diperebutkan. Saingannya : Aliansi Rakyat Singapura pimpinan Lim Yew Hock, hanya meraih 4 kursi. Kemenangan ini sekaligus mengantarkan Lee menjadi Perdana Menteri Singapura yang pertama. Namun kemenangan PAP menimbulkan rasa cemas bagi sebagian kaum kapitalis asing dan lokal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya anggota partai tersebut yang berhaluan komunis. Akibatnya banyak perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya berkantor pusat di Singapura, segera berpindah ke Kuala Lumpur. Namun kemampuan PAP menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial di Singapura, serta kebijakannya yang pro-investasi asing, telah menghilangkan kecemasan tersebut.
Meskipun mereka berhasil membina pemerintahan baru, namun para pimpinan PAP percaya bahwa masa depan negeri itu ialah bersama-sama Malaya. Mereka merasa hubungan bersejarah antara Singapura dan Malaya terlalu kuat untuk dipisahkan. Selain itu miskinnya sumber daya alam yang dimiliki pulau tersebut menjadi kekhawatiran utama para pimpinan PAP. Untuk meraih simpati masyarakat, mereka terus berkampanye agar merger antara Singapura dan Malaya bisa segera terwujud. Di sisi lain, sayap PAP yang berhaluan komunis menentang ide merger ini. Mereka takut kehilangan pengaruh, dikarenakan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) — partai politik terbesar di Malaya, merupakan kelompok yang anti-komunis.
Sementara itu di Kuala Lumpur, para pemimpin UMNO skeptis terhadap ide merger tersebut. Sebagian dari mereka menganggap ide ini merupakan ambisi Lee Kuan Yew untuk menguasai Malaya. Alasan lainnya adalah kuatnya pengaruh komunis dalam pemerintahan PAP dan kekhawatiran akan besarnya populasi Tionghoa di Singapura. Berdasarkan sensus tahun 1963, ada sekitar 75% etnis China dan 14% etnis Melayu di Singapura. Sedangkan di Semenanjung ada sekitar 45,9% etnis Melayu dan 36% etnis China. Kalau keduanya bergabung, maka komposisi etnis di negara gabungan tersebut akan berubah menjadi 51% etnis Tionghoa dan 39% orang Melayu. Besaran ini tentunya sangat merugikan kaum Melayu. Dimana mereka hanya menerima sebuah pulau kecil yang tak memiliki sumber daya alam, namun harus menggadaikan kepemimpinan politik serta dominasinya di bidang sosial dan keagamaan. Beberapa pertimbangan inilah yang kemudian menyebabkan tersendat-sendatnya unifikasi Singapura ke dalam Federasi Malaysia.
Namun pada tanggal 27 Mei 1963, Perdana Menteri Malaya : Tunku Abdul Rahman, memperoleh gagasan baru mengenai Federasi Malaysia, yang terdiri dari Semenanjung Malaya, Singapura, Brunei dan wilayah Borneo Britania (Sabah dan Sarawak). Pemimpin UMNO itu percaya, dengan bergabungnya Kalimantan Utara ke dalam Federasi maka akan menambah populasi Melayu, yang nantinya akan mengimbangi penduduk China di Singapura. Dengan segala rintangan dan lika-likunya, akhirnya pada tanggal 16 September 1963 Federasi Malaysia terbentuk, yang terdiri dari Malaya, Singapura, Sabah, dan Sarawak. Sedangkan Brunei menolak untuk bergabung dengan Federasi tersebut dan memilih menjadi negara sendiri. Sultan Omar Ali Saifuddien III, sultan Brunei ketika itu, agaknya kurang puas dengan kesepakatan yang disodorkan Tunku Abdul Rahman dalam pengelolaan kekayaan negeri tersebut.
Imigran China di Singapura (sumber : cardcow.com)
Imigran China di Singapura (sumber : cardcow.com)
Dalam soal unifikasi Singapura ke dalam Federasi Malaysia, sikap pemerintahan Inggris cukuplah bimbang. Sejak kemerdekaan Malaya pada tahun 1957, sebenarnya Inggris tak lagi memiliki kepentingan politik terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Inggris bersama negara Blok Barat lainnya hanya konsern pada masalah penyebaran ideologi komunis di Asia Tenggara. Yang mana menurut kepercayaan mereka, masyarakat China di Singapura dan Malaya adalah penyokong utama komunisme di Asia Tenggara. Untuk membendung komunisme di kedua wilayah tersebut, Inggris segera mendukung ide penggabungan itu. Dengan harapan UMNO akan menguasai pemerintahan dan menyingkirkan perpolitikan kaum komunis.
Sejak bergabungnya Singapura dengan Malaysia, ketegangan antar ras Melayu dan China makin menjadi-jadi. Politik Ketuanan Melayu yang berlaku di seluruh Federasi mendapat tantangan keras dari warga Tionghoa. Lee Kuan Yew bersama para pimpinan PAP lainnya, mendorong penghapusan sistem politik tersebut dan melakukan advokasi untuk perlakuan yang adil dan setara bagi semua ras di Malaysia. Yel yel politiknya yang cukup terkenal : “Malaysian Malaysia“ (Malaysia untuk seluruh warga Malaysia), bergema di seantero negeri. Dalam konsep tersebut, Lee menganggap bahwa orang-orang keturunan China juga merupakan pemilik sah tanah Malaya, sebab mereka telah berhijrah ke negeri ini sejak 500 tahun lampau. Namun pendapat itu segera dibantah oleh politisi UMNO Syed Jaafar Albar. Albar berpendapat bahwa orang-orang China hanyalah kaum pendatang di Malaya, oleh karenanya mereka harus menghormati hak-hak dan supremasi bangsa Melayu. Anehnya, Albar yang keturunan Arab Hadhrami dan baru menginjakkan kakinya di Malaya selepas Perang Dunia Kedua, justru bisa memperoleh hak yang sama dengan bangsa Melayu.
Kondisi politik yang makin memanas mencapai titik kulminasinya pada tanggal 21 Juli 1964, ketika terjadi kerusuhan di Singapura yang menewaskan 23 orang. Kerusuhan ini bermula dari isu rasial yang ditiupkan oleh kaum nasionalis Melayu yang sebelumnya meminta hak-hak khusus kepada pemerintah Singapura, namun tak mendapat respon yang memuaskan. Memanfaatkan arak-arakan setelah perayaan maulid Nabi SAW, para politisi ultra-Melayu itu mendorong para peserta untuk bertindak anarkis. Dalam kerusuhan ini 3.000 orang ditahan, termasuk 600 orang anggota sindikat rahasia. Di awal bulan September 1964 kerusuhan antar etnis kembali meledak. Rusuh kali ini dipicu oleh tewasnya tukang becak Melayu di kawasan Geylang, yang diduga dibunuh oleh orang China. Dalam insiden ini 13 orang tewas dan 106 orang terluka.
Kerusuhan 1964 di Singapura (sumber : mha.gov.sg)
Kerusuhan 1964 di Singapura (sumber : mha.gov.sg)
Pertentangan tak hanya terjadi di kalangan akar rumput, namun juga di tingkat elit. Kesepakatan untuk membangun pasar umum, ternyata tidak berjalan dengan baik. Singapura terus menghadapi pembatasan ketika melakukan perdagangan dengan wilayah lain di Malaysia. Sebagai bentuk pembalasan, negeri Singa itu menolak memberikan kredit untuk pembangunan ekonomi Sabah dan Sarawak. Setelah itu, The Bank of China cabang Singapura yang diduga mendanai kaum komunis, ditutup oleh pemerintah pusat di Kuala Lumpur. Situasi yang tak mengenakkan terjadi dimana-mana, ketika pembicaraan antara politisi UMNO dan PAP sering mengalami deadlock. Untuk menghindari ketegangan, beberapa solusi coba ditawarkan. Salah satunya ialah penggabungan PAP ke dalam UMNO dan mengikutsertakannya ke dalam pemerintahan federal. Namun usul ini justru ditentang kuat oleh Asosiasi China Melayu (MCA) yang takut kehilangan pengaruhnya dikalangan masyarakat Tionghoa Malaya. Atas desakan MCA, UMNO akhirnya menolak usulan mengikutsertakan PAP ke dalam pemerintahan. Berawal dari kejadian inilah hubungan antara UMNO dan PAP tak lagi harmonis, dan menjadi pihak yang saling bermusuhan.
Melihat perdebatan yang semakin gawat dan melelahkan, Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman memutuskan untuk mengeluarkan Singapura dari Federasi Malaysia. Pada pagi hari tanggal 9 Agustus 1965, Parlemen Malaysia mendukung amandemen konstitusi mengusir Singapura dari Malaysia. Beberapa jam kemudian, Parlemen Singapura menetapkan negeri pulau itu sebagai republik yang merdeka dan berdaulat. Dan menetapkan Yusof Ishak, seorang Melayu-Minangkabau sebagai presiden Singapura. Diangkatnya warga Melayu sebagai presiden yang pertama mungkin sebagai bentuk pernyataan kepada dunia luar, bahwa tak ada pergesekan etnis di Singapura. Orang Tionghoa, Melayu, India, dan juga bangsa manapun, bisa hidup berdampingan di negara ini.
Bagi Lee Kuan Yew, perpisahan ini merupakan pukulan terberat sepanjang hidupnya. Dalam konferensi pers yang disiarkan langsung oleh berbagai stasiun televisi, nampak sekali dadanya penuh sesak. Beberapa kali ia berusaha menahan air mata, dan berhenti sebentar untuk menenangkan emosi. Salah satu kutipan pernyataan Lee yang terus diingat orang ialah keyakinannya bahwa penyatuan ini akan memberikan keuntungan positif dari segi ekonomi dan juga menyatukan persaudaraan diantara kedua wilayah. “Every time we look back on this moment when we signed this agreement which severed Singapore from Malaysia, it will be a moment of anguish. For me it is a moment of anguish because all my life … you see, the whole of my adult life … I have believed in merger and the unity of these two territories. You know that we, as a people are connected by geography, economics, by ties of kinship…

Halaman muka “The Straits Times”, saat berpisahnya Singapura dari Malaysia
Dalam autobiografinya Lee menyatakan, sejak berpisahnya Singapura dari Malaysia ia tak bisa tidur nyenyak. Beberapa hari setelah kemerdekaan, ia jatuh sakit. Mengetahui kondisi Lee yang terpuruk, Perdana Menteri Inggris Harold Wilson menyatakan keprihatinannya. Untuk memberikan dukungan kepada Lee, Wilson berjanji akan membantu perekonomian Singapura. “Do not worry about Singapore. My colleagues and I are sane, rational people even in our moments of anguish. We will weigh all possible consequences before we make any move on the political chessboard…” Begitu pernyataan hiburan yang diterima Lee dari PM Inggris Harold Wilson.
Dukungan Inggris – dan juga Amerika terhadap Singapura ketika itu, tentu bukanlah “sebuah makan siang yang gratis”. Bagi Singapura ini merupakan keberkahan tersendiri, sebab perusahaan-perusahaan Barat mau menjadikan negeri ini sebagai markas mereka di Asia-Pasifik. Sedangkan bagi Blok Barat, dukungan ini sebagai bentuk strategi politik mereka untuk membendung pengaruh komunis dari daratan China. Sejak saat itu kita melihat begitu besarnya partisipasi negara-negara Barat dalam membantu perekonomian Singapura. Oleh karenanya dalam tempo yang cukup singkat, Singapura berhasil menjadi salah satu negara maju di Asia, dengan pendapatan per kapita mencapai USD 64.584 per tahun (perkiraan 2013).

Monday, May 29, 2017

Orang Jawa di Singapura

Sejarah (1825 – 1985). Sejumlah orang Jawa didatangkan ke Singapura sejak 1825 [Johari, 1965]. Mereka berasal dari Jawa Tengah, dan mereka dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan karet, jalur kereta api dan konstruksi jalan raya. Kampong Jawa, di tepi sungai Rochor, adalah tempat pemukiman pertama orang Jawa di Singapura. Selain Kampong Jawa, Kallang Airport Estate dikenal sebagai tempat pemukiman orang Jawa juga. Di Kallang, mereka hidup berdampingan dengan orang Melayu dan Cina.
Menurut Lockard [1971], orang Jawa di Kampong Jawa tumbuh dari 38 orang pada 1825 hingga 5885 orang di tahun 1881. Puncak pendudukan orang Jawa adalah tahun 1931 dimana hampir 170000 orang Jawa tinggal di Singapura. Selang 16 tahun, jumlah orang Jawa menurun drastis dari 169311 pada 1931 hingga 24715 pada 1947. Penyebabnya
(1) depresi ekonomi yang mendorong berdirinya perkebunan skala kecil dimana mereka tidak lagi menggunakan buruh
(2) meningkatnya kondisi ekonomi buruh
(3) tekanan internasional yang memprotes perburuhan.
Bahasa Jawa. Data tahun 1985 menunjukkan bahwa sekitar 800 dari 21230 (3.8%) orang Jawa di Singapura masih melestarikan bahasa Jawa. Orang Jawa di Singapura lebih fasih berbahasa Melayu. Bahasa Jawa masih dilestarikan oleh generasi tua dan menularkan beberapa kosakata kepada anak-cucunya. Bahasa Jawa bukan alat komunikasi yang umum karena pengaruh budaya Melayu cukup kuat. Di samping asimilasi dengan budaya Melayu itu, bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan (ngoko, ngoko alus, kromo inggil) sehingga “agak” mempersulit pembelajar bahasa Jawa. Lingkungan non-Jawa barangkali lingkungan yang tidak kondusif untuk belajar bahasa Jawa; hal ini juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jakarta. Di Singapura, pada akhirnya, bahasa Jawa menjadi langka.
Melayu logat Jawa (Pertengahan 2005). Di sebuah kedai prata, selatan NUS – Clementi, saya ngobrol dengan seorang waiter. Ia berasal dari Johor, dan berumur sekitar 40an. Ia bercerita tentang masa lalu: seorang pemuda Jawa datang ke Singapura tahun 1950an, lalu menatap di Johor Bahru. Pemuda ini menikah dengan perempuan Melayu. Meski demikian, pemuda ini tetap mempraktikkan bahasa Jawa di rumah. Jawa menjadi alat komunikasi di rumah, selain bahasa Melayu. Pemuda ini adalah ayahnya.
Dibesarkan di Malaysia dan berbahasa Melayu dengan lancar, awalnya saya rasa dia tidak akan bisa berbahasa Jawa. Tapi sungguh mengejutkan: dia bisa! Dan itu kali pertama saya mendengar bahasa Jawa dengan aksen melayu!
Email Krama Inggil (Awal 2005). Seseorang mengirimi saya e-mail dan memberikan komentar dalam artikel “Apakah Jawa itu?“. Ia menulis dalam krama inggil (bahasa Jawa halus yang biasanya dipakai ketika kita bercakap-cakap dengan orang yang lebih tua atau dengan orang yang lebih dihormati). Saya terpukau dengan bahasa Jawanya. Meski ia warga Singapura, ia masih mampu berkomunikasi dalam kromo inggil. Saya jarang menggunakan krama inggil. Jadi, ketika membaca email-emailnya, saya berusaha menjejak setiap kata, mengartikan sepotong-sepotong dan membalas emailnya dengan bahasa campuran ngoko alus dan krama inggil.
“Oh, bahasa Jawa masih “bernafas” di Singapura” batin saya.
Bahasa Jawa menduduki peringkat 12 sebagai bahasa yang paling banyak dipakai di dunia – dipakai oleh lebih dari 75.5 juta orang yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, New Caledonia dan Suriname.
Pustaka
– Abdul Aziz Johari, Javanese People in Singapore, Academic Exercise, Dept. of History NUS, 1965.
– Craig A. Lockard, The Javanese As Emigrant: Observations on the Development of Javanese Settlements Overseas, Cornell Southeast Asia Program, April 1971.
Sejarah Kampung "Padang Jawa" di Selanggor Malaysia

Sejarah Kampung "Padang Jawa" di Selanggor Malaysia

‘Kampung Padang Jawa’ di Selangor Malaysia yang Konon Didirikan Oleh Seorang Pendekar dari Jawa Tengah

Jangan salah sangka dulu, karena yang dimaksud ini bukan kampung di Malaysia yang khusus untuk orang Indonesia. Kampung unik yang kami kunjungi beberapa waktu yang lalu ini, dihuni oleh sekitar belasan hingga puluhan ribu penduduk ini bernama ‘Kampung Padang Jawa’.
Penduduknya tidak 100% berisi orang Indonesia, bahkan sebetulnya  prosentase atau jumlah WNI yang tinggal disana kalah jauh dibanding penduduk berkewarganegaraan Malaysia. Namun kalau ditarik mundur tiga atau empat generasi silam, kebanyakan nenek moyang penduduk asli mereka adalah orang Indonesia.

Sekilas tentang Kampung Padang Jawa

Secara fisik, kampung ini memang terlihat berbeda dibanding gedung-gedung tinggi di luar kampung. Di dalam kampung, tepatnya di jalan utamanya sangat lebar tersebut, tidak terdapat gedung-gedung megah seperti di bagian lain di kota Shah Alam. Kota Shah Alam adalah Ibukota Selangor, Malaysia.

IMG_20150807_145458_1439114593589
Memasuki jalan utama Kampung Padang Jawa
Kampung Padang Jawa berdekatan dengan kota baru Klang dan kota besar Shah Alam. Jaraknya dari Klang lebih kurang 8 Km dan dari Shah Alam lebih kurang 4 Km. Kampung ini sangat unik karena berada di bawah pemerintahan 2 kota, yaitu satu bagian di bawah Daerah Klang dan sebagian lagi masuk daerah Shah Alam. Garis perbatasan di antara kedua daerah ini terletak di tengah-tengah kampung ini.
Kampung ini juga agak istimewa kerana mempunyai 3 jalan masuk ke kampung ini, yaitu dari Klang, Shah Alam dan Lebuh Raya Persekutuan (Federal Highway)
Bila kita menyusuri Kampung Padang Jawa, toko dan rumah penduduk yang berjajar di jalan utama paling banyak dibangun dalam dua lantai, dan hanya sedikit rumah susun sederhana yang dibangun di kampung itu. Sebagai catatan, meski terdapat gedung-gedung tinggi di pusat kotanya, Shah Alam tidak seperti Jakarta yang sangat dipadati gedung-gedung pencakar langit.
Shah Alam sebagai ibukota Selangor ini memang memiliki gedung-gedung megah, meski tak seberapa banyak. Serta, penduduknya tidak sepadat kota-kota besar di Indonesia. Kota Shah Alam adalah kota yang tergolong besar di Malaysia yang sarat dengan sejarah panjang berkembangnya hingga dianggap sebagai salah satu ‘bandar’ terkemuka di Malaysia.
Kampung Padang Jawa merupakan salah satu cikal bakal berkembangnya Shah Alam, sehingga tidak mengherankan bila kampung unik ini akhirnya berada di tengah pertumbuhan dua kota, Shah Alam dan kota Klang. Dua kota yang terus berkembang karena disokong penuh oleh Pemerintah Malaysia. Sedangkan kampung ini terkesan tumbuh lebih secara natural, tanpa pacuan pembangunan gedung-gedung besar pencakar langit oleh pemerintah. Tak pelak, saat ini kawasan tersebut dikelilingi denyut pembangunan proyek fisik serta gedung-gedung bertingkat di luar kampung tersebut. Namun jangan berpraduga tentang diskriminasi, karena sarana fisik standar yaitu jalan dan fasilitas transportasi tetap mendapatkan porsi anggaran yang mencukupi dari pemerintah.

IMG_20150807_153232_1439114239197

Sebuah surau tua di Kampung Padang Jawa, di bawahnya digunakan untuk Taman Kanak-Kanak

Sejarah Kampung Padang Jawa

Sejak ratusan tahun yang lalu, Shah Alam sudah mulai didatangi oleh para pendatang dari Indonesia. Mayoritas dari mereka berasal dari pulau Jawa, dan sebagian lainya dari Sumatera (terutama dari daerah Padang, Medan dan Aceh).
Apakah karena banyak pendatang dari Jawa dan Sumatera, hingga akhirnya dinamakan Kampung Padang Jawa?
Sejarah silam asal usul Padang Jawa dimulai sejak berdirinya lebih 160 tahun lalu.
Di awal pembukaannya, Padang Jawa merupakan tanah pertanian dan terkenal dengan dusun buah-buahan, pada waktu itu banyak penduduknya yang bekerja sebagai pengumpul getah karet. Sebelum Sungai Klang dicemari oleh limbah pembangunan kota-kota disekitarnya, rata-rata penduduk di Padang Jawa bekerja sebagai nelayan yang menjadikan ikan air tawar, udang galah dan udang belacan sebagai hasil tangkapan.
Pendekar ‘Wak Kairan’ sebagai pendiri Padang Jawa, berasal dari Jawa Tengah
Asal muasalnya Padang Jawa ini dimulai oleh seorang pendekar yang terkenal dengan ilmu persilatan dan gagah berani, malah dikabarkan memiliki kekuatan yang sukar ditandingi.
Wak Kairan  yang berasal dari Jawa Tengah adalah individu pertama yang memulai penebasan dan pembukaan kampung, dengan cara membersihkan hutan dan semak belukar. Singkat cerita, beliaulah yang pertama kali mewujudkan Padang Jawa ini. Dikhabarkan Wak Kairan mempunyai ilmu persilatan yang sangat tinggi dan memiliki tenaga yang amat luar biasa. Beliau diceritakan malah pernah bertarung dengan musuhnya di kawasan stasiun kereta api selama tujuh hari tujuh malam tanpa berhenti rehat. Dikisahkan pula, beliau mampu menarik dan memberhentikan kereta api yang sedang bergerak.
Ketika Wak Kairan meninggal dunia, jasadnya dikebumikan di tanah pemakaman di ujung kampung. Selepas itu kuburnya dipindahkan ke kawasan tanah pemakaman baru yang terletak bersebelahan dengan Lebuh Raya Persekutuan.
Asal nama Padang Jawa
Merujuk pada kamus Bahasa Jawa, ‘Padang’ membawa arti membersihkan atau membuat terang suatu kawasan, dan upaya pembukaan itu dilakukan oleh Wak Kairan yang tak lain adalah seorang pendekar yang berasal dari Jawa. Pada perjalanannya, itu kampung ini kemudian dinamakan Padang Jawa.
Setelah era kemerdekaan Malaysia, kawasan-kawasan ini dijaga di bawah satu ketua kampung dengan menggunakan nama Kampung Padang Jawa.

Sejarah Kedatangan Orang Jawa Ke Johor

Sejarah Kedatangan Orang Jawa Ke Johor

Rakyat Johor terdiri dari pelbagai suku Melayu. Yang domain ialah suku Jawa sehingga ada yang masih pekat atau totok. Meskipun begitu,  tidak semua berasal-usul dari keluarga marhein dari Pulau Jawa. Ada yang terdiri dari golongan berpendidikan tinggi agama, pendakwah dan juga petani yang berjaya. Tetapi kerana keluasan tanah terhad di Pulau Jawa maka mereka pun berhijrah ke Negeri Johor.  Kini, mereka adalah rakyat Johor yang berjaya dan maju dengan hasil perkebunan. Kebanyakan anak mereka berpendidikan tinggi dan menjawat perkhidmatan awam negeri Johor dan Persekutuan.






Mengikut sejarah, kedatangan suku Jawa ke Johor adalah hasil galakan dari Temenggong Daing Ibrahim (1810-1862) ketika  membuka ladang gambir di Johor sekitar 1830-an setelah perusahaan gambir di Singapura gagal kerana kekurangan tanah dan kayu-kayan yang menjadi bahan bakar utama perusahaan itu. Dasar menggalakkan pekerja atau kuli bukan sahaja dari Jawa tetapi juga dari Cina bagi memajukan tanaman gambir melalui sistem kangkar yang diperkenalkan beliau.

 Usaha dan dasar memajukan Johor melalui perdagangan hasil hutan dan perladangan gambir ini serta dasar membawa masuk pekerja luar telah diteruskan oleh anakanda baginda, Temenggong Abu Bakar (1833-1895). Di zaman Temenggong Abu Bakar dasar ini dan pembangunan yang terhasil sampai ke puncak klimaks pada tahun 1860 sehingga 1895. Dasar membangunkan negeri yang diterajui oleh Temenggong Daing Ibrahim telah diteruskan oleh cucuanda baginda Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar(1873-1959). 

Suku Jawa digalakkan datang ke negeri Johor untuk bekerja dan membuka kebun. Disamping sebagai pekerja dan pekebun mereka juga menjadi pengimbang pola jumlah dan taburan pekerja atau pekebun bangsa Cina. Satu surat khas terkenal dengan nama Surat Kebenaran Membuka Kebun  dikeluarkan oleh pejabat Temenggong dan kemudian Pejabat Tanah Negeri Johor semasa pemerintahan Temenggong Abu Bakar.  Pekerja atau orang Cina dikawal dengan peraturan Kangkar dan Sistem Kangcu manakala orang Jawa dikawal oleh pemimpin tradsional iaitu penghulu dan orang-orang Kaya selaku pembesar dan wakil raja.

Orang Jawa juga banyak dibawa masuk oleh Syarikat Konstantinople milik jutawan Arab bernama As Sagof yang mendapat konsesi membuka ladang seluas daerah Pontian. Beliau ialah sahabat baik kepada Maharaja Abu Bakar dan beliau telah membawa masuk pekerja-pekerja Jawa melalui Sistem Haji di mana beliau memberi kemudahan menunaikan fardu haji kepada pekerja Jawa melalui tabungan upah bekerja di ladang kelapanya di Pontian. Pekerja Jawa boleh menunaikan fardu haji apabila wang perbelanjaan yang dikumpulkan mencukupi. Mereka juga diberi kemudahan menunaikan haji terlebih dahulu dan kemudian bekerja untuk melangsaikan hutang.  Sesiapa yang telah menunaikan fardu haji diberi pilihan untuk pulang ke kampung halaman atau terus menetap atau bekerja mengumpul wang sebagai bekalan apabila kembali ke tanahair dengan bekerja di ladang Syarikat Konstantinople. 

Perusahaan dan perniagaan syarikat ini amat terkenal dan terbesar di Asia Tenggara ketika itu. Perdagangan yang diusahakan oleh syarikat ini termasuk perkapalan, pengangkutan laut, perladangan dan juga perniagaan barang-barang nusantara dan juga dari Cina ke Timur Tengah sehingga ke Konstantinople di Turki. Keluarga As Sagof memiliki puluhan kapal sendiri dan sebahagian besarnya berkuasa dan berinjin wap. Ladang-ladangnya terdapat di Pulau Muluku, Kalimatan atau Borneo, Pulau Jawa, Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu khususnya di Johor. Pejabat-pejabat pengurusan syarikat ini terdapat di Turki, Saudi Arabia, Yemen, India, Sumatera, Pulau Jawa dan di Singapura. Pejabat terbesarnya terletak di Konstantinople Turki dan di sebelah timur terletak di Singapura dan ditengah-tengah rangkaian perdagangannya yang terletak di Yemen dan juga India.

 Di Johor, kemudahan atau Sistem Haji yang diperkenalkan  oleh Syarikat Konstantinople mendapat sambutan hangat dari penduduk Jawa yang beragama Islam kerana tiada berunsur penipuan dan penganiayaan. Berbondong-bondong orang Jawa mendaftar diri menjadi pekerja Syarikat Perladangan Konstantinople ini. Sebahagiannya terus menetap dan menjadi rakyat Johor.

 Selain daripada itu, fakta penarik orang Jawa datang ke Johor juga adalah disebabkan oleh galakan Inggeris yang telah mewar-warkan kegemilangan dan kemakmuran negeri Singapura dan Johor yang diperintah oleh raja Melayu yang moden dan adil seperti pemerintahan Inggeris ketika mentadbir pulau Jawa menjaga kepentingan Belanda yang sedang terlibat dengan peperangan Napoleon. Inggeris telah mengambil kesempatan mempengaruhi orang Jawa agar menolak Belanda dan menerima Inggeris terus memerintah Jawa. Ketegasan Belanda mengambil semula negeri-negeri taklukannya setelah Perang Napoleon berakhir telah mendorong Inggeris berusaha meluaskan pengaruhnya di Nusantara.

 Sistem tanaman paksa oleh Belanda  pada tahun 1820-an yang telah memaksa penduduk Jawa menanam hanya kopi, teh dan rempah ratus sahaja telah menimbulkan kemarahan orang Jawa yang menghadapi kekurangan bahan makanan. Bagi mengelak kebuluran, ramai orang Jawa telah berhijrah ke Semenanjung Tanah Melayu dan tinggal di negeri Melayu dibawah pengaruh pentadbiran Inggeris. Kebanyakan orang Jawa yang kuat pegangan agama dan enggan tunduk di bawah pengaruh pentadbir kafir (Belanda) telah memilih Johor untuk menetap. Mereka telah datang secara berperingkat-peringkat dengan menaiki kapal milik kerabat diraja yang dikenali sebagai sadagar raja yang mendapat kebenaran khas belayar dan berdagang di nusantara oleh Belanda.

Mengikut catatan sejarah, gerombolan atau gelombang penghijrahan orang Jawa ke Semenanjung Tanah Melayu yang paling aktif ialah pada tahun 1835 sehingga 1900. Ini adalah berikutan Sistem Rodi atau Tanaman Paksa yang dipaksakan oleh Belanda dan pengeluaran hukuman berat kepada sesiapa yang engkar perintah sehingga sampai ke tahap mengancam nyawa. Keluarga kerabat Diraja Cerebon sebagai contoh merupakan kumpulan saudagar Raja yang paling aktif kerana mereka mahir berlayar dan berdagang di serata teluk dan rantau serta pelabuhan-pelabuhan  di Nusantara.  Berdagang dan berdakwah adalah budaya hidup mereka. Mereka mewarisi ilmu pelayaran, perdagangan di samping penyibaran agama sejak turun-temurun dan berasal-usul daripada sheikh-sheikh dan pedagang Arab. 

Mengikut catatan Belanda, Hj Ibrahim pernah berulang alik dari Jawa ke Melaka pada tahun 1800-1825 kemudian anaknya Lebe  Mat (Lebai Muhamad) adalah antara nakhoda Jawa berdarah Arab (Saudagar Raja Cerebon) yang telah membawa masuk orang-orang Jawa ke Semenangjung Tanah Melayu. Mereka mempunyai jadual belayar yang tetap dan berulang alik dari Pulau Jawa sejauh Maluku, Tuban, Cerebon, Betawi, Siak, Singapura, Muar, Melaka, Selangor, Kelang, Bruas dan Kuala Kedah dari tahun 1800-1879. Muar telah dipilih menjadi penempatan keluarga mereka kerana terdapat perkampungan Arab di situ.

Kampung Jawa Muar (Kg Bakri) contohnya telah dibuka pada tahun 1869 oleh Hj Md Noh anak Lebai Muhamad bin Hj Ibrahim. Sebelum itu,  Penghulu Jabar yang berasal dari Jawa Timur telah mengikut kumpulan pelayaran saudagar raja Cerebon ke Parit Bakar Muar pada tahun 1860 dan membuka Parit Jawa pada 1865. Rombongan dan penghijrahan dari Jawa terus berlaku pada tahun-tahun berikutnya apabila Gerisik, Bukit Gambir, Sungai Raya dan beberapa perkampungan dan desa dibuka oleh orang Jawa di Muar dan di sepanjang pantai barat Johor atas galakan Maharaja Abu Bakar yang kemudian bergelar Sultan Johor (1885).

Gerombolan kedua orang Jawa berhijrah ke Johor, sebelah pantai timur Johor dan di sepanjang pantai barat Semenangjung adalah pada tahun 1915 sehingga hujung 1930-an berikutan pembukaan ladang getah, nenas dan teh tetapi penanaman teh tidak digemari oleh orang Jawa kerana mereka mempunyai pengalaman pahit dan hitam di Jawa sehingga pengusaha-pengusaha dan peladang Inggeris terpaksa membawa masuk perkerja dari India bekerja di ladang teh mereka. 

Pada tahun 1885, bermula sejak Maharaja Abu Bakar bergelar Sultan, semua peneroka Jawa dibenarkan menamakan kampong dan desa yang dibuka oleh mereka mengikut nama atau tempat asal usul mereka kerana kesetiaan mereka tidak diragui lagi dan Sultan Abu Bakar telah mendapat mandat dan daulat sultan secara rasmi dari kerajaan Inggeris.

Ketika Zaman Jepun (1942-1945) terdapat juga catatan sejarah di mana banyak tentera paksa berketurunan Jawa yang dibawa masuk dari pulau Jawa ke Semenanjung Tanah Melayu gagal pulang dan akhirnya terus menyusup dan menetap sebagai penduduk di sini. Mereka diterima dengan baik kerana terdapat suku Jawa yang telah lama bermastautin malah diakui sebagai rakyat asal Negeri-negeri Tanah Melayu.

Tahun (2012),  mengikut perincian dari statistik pembacian Jabatan Perangkaan Negeri, Johor (2010), orang Melayu adalah sebanyak 48%, Cina 40% India 8% dll bangsa 4%.  Pecahan Suku Melayu daripada sejumlah 48% itu ialah suku Jawa  sebanyak 50%, suku Melayu Bugis 12%, Melayu Johor 30% dll 8% . Boleh dikatakan orang Melayu suku Jawa adalah tunjang kepada kemajuan dan pembangunan negeri Johor. Mereka mencurahkan kesetiaan yang tidak berbelah bahagi kepada kerajaan negeri dan ketika ini mereka juga menjawat jawatan tinggi dalam banyak jabatan dan berpengaruh dalam parti politik yang diterajui oleh UMNO Johor. Mereka dengan bangga mengaku sebagai bangsa Melayu dan berasal-usul dari suku Jawa.


Sunday, May 28, 2017

Lenovo Yoga 300 - Intel N3050 - 4GB RAM - 11.6"

Lenovo Yoga 300 - Intel N3050 - 4GB RAM - 11.6"

Detail produk dari Lenovo Yoga 300 - Intel N3050 - 4GB RAM - 11.6"

Lenovo kembali hadir menawarkan produk laptop dan tablet 2 in 1 lewat Lenovo Yoga 300 Touch Screen - Intel Celeron N3050 - 11.6" - Hitam. Laptop dengan layar 11.6" ini hadir dengan desain simpel dan menawan, membuat Anda mudah menggantinya menjadi 4 model berbeda, baik itu sebagai laptop, stand, tent maupun tablet. Kapasitas baterainya yang cukup besar pun membuat Anda dapat menggunakan laptop ini lebih lama dan lebih optimal.

Desain Flip-and-Flop 360°

Lenovo Yoga 300 merupakan PC dan tablet yang Anda butuhkan dan inginkan. Hadir dalam desain Flip-and-Flop 360° yang unik, notebook ini begitu mudah dioperasikan, baik itu sebagai laptop biasa maupun tablet dengan layar sentuh. Bagian engselnya pun dapat diputar hingga 360°, membuat Anda dapat memilih mode sesuai keinginan, baik itu dalam bentuk tent maupun stand.

Performa Impresif Untuk Bekerja dan Bermain
Nikmati notebook dengan kinerja Intel Celeron N2840 untuk melakukan pekerjaan multitasking tanpa beban, termasuk berkomunikasi dengan teman maupun keluarga, menikmati hiburan hingga mengerjakan setiap pekerjaan hingga tuntas. Rasakan performa dan kualitasnya yang impresif berkat prosesor Intel Inside di dalamnya.

Sistem Operasi Windows 10

Bangun bisnis maupun hidup Anda dengan sistem operasi dari Windows. Windows 10 siap memberi segala yang Anda inginkan dalam berbagai perangkat, baik itu di rumah, di kantor maupun dalam perjalanan. Tersedia pula speaker stereo yang siap mengirimkan suara stereo yang kaya ke penjuru ruangan berkat Dolby Home Theater di dalamnya.

Desain Ultra Tipis, Ringan & Portabel

Lenovo Yoga 300 hadir dengan berat 1.39kg dengan ketebalan hanya 2.15cm, menjadikannya notebook yang sangat portabel dan mudah dibawa kemanapun. Notebook inipun sempurna untuk Anda yang gemar melakukan perjalanan jauh dan tetap ingin terhubung dengan dunia modern. Dilengkapi baterai yang dapat bertahan hingga 5 jam, Anda pun dapat menggunakan notebook ini sepanjang hari tanpa perlu di isi ulang.

Spesifikasi Lenovo Yoga 300 - Intel N3050 - 4GB RAM - 11.6" - Hitam

Apa yang ada di dalam kotak:
  • Lenovo Yoga 300 - 11.6" - Intel N3050 - 4GB RAM - Hitam 
  •  
  • 1 x Charger
  •  
  • 1 x Buku Panduan
  •  
  • 1 x Kartu Garansi
  •  
Fitur Umum:

SKU                                                           E629ELAA3Q7PNANID-7169139
AC Adapter                                               Tidak
Tipe Processor                                          Intel
Tipe Processor                                          10.6
Graphics Card                                           Integrated
Graphics Memory                                      4GB
Hard Drive Capacity                                  Not Specified
Input/Output Ports                                     USB 3.0
Model                                                        We Computer-Lenovo Yoga 300 Hitam
Sistem Operasi                                         Windows
Processor Type                                         Not SpecifieD
Ukuran (L x W x H cm)                             1x1x
Berat (kg)                                                  4
RAM                                                          8GB
Touchpa                                                    Yes
Warran                                                      1 Tahun
Tipe garansi                                              Garansi Lokal
Wireless                                                    Wifi





advertisment